Monday, May 11, 2009

Two Thumbs Up, Ko !

Minggu lalu, tepatnya hari Sabtu, 2 Mei 2009, saya berjalan-jalan di area elektronik di seputar Jl. ABC, Bandung. Jl. ABC ini memang terkenal dengan toko-toko elektroniknya yang menjual dengan harga lumayan miring, bila dibandingkan dengan toko-toko sejenis di pusat-pusat perbelanjaan besar di kota Bandung.

Tawar menawar pun biasanya dilancarkan di toko-toko sepanjang Jl. ABC ini, untuk mendapatkan harga yang terbaik.

Dan ceritanya, pagi itu saya terdampar di situ karena saya ingin membeli Air Cooler untuk kedua orang tua saya.
Air Cooler itu tidak sama dengan Air Conditioner (AC) maupun kipas angin. Tingkat kesejukan Air Cooler relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan AC, dan relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan kipas angin.
Jika AC perlu freon untuk proses pendinginannya, Air Cooler perlu es batu atau air biasa. Caranya dengan memasukkan air tersebut ke bagian belakang alat, ke tempat yang memang telah disediakan.
Air yang dimasukkan tersebut dapat bertahan hingga 5 hari bila diisi dengan kapasitas penuh.

Hal itu yang saya dapat dari penjelasan si Engko pemilik salah sebuah toko. Ketika tawar menawar harga pun hampir mencapai titik temu, tiba-tiba beliau bertanya kepada saya, “Ada jendela yang terbuka, tidak?”
Saya langsung mengernyitkan alis. Cara kerja AC di rumah saya, dan bahkan AC-AC di tempat lain, tidak memerlukan jendela yang dibuka, ketika kita menjalankan mesin tersebut. Yang ada malah, setiap jendela ataupun pintu yang terbuka, diusahakan sebisa mungkin ditutup, karena sirkulasi udara dingin dapat keluar dan membuat ruangan yang berAC menjadi tidak terlalu dingin.
”Lho, Ko.. memang kenapa harus ada jendela yang terbuka ?” saya memberanikan diri untuk bertanya.
”Karena Air Cooler ini berbeda dengan AC. Air Cooler ini menggunakan air. Jika tidak ada jendela atau ventilasi yang terbuka, maka hal ini malah akan membahayakan pengguna yang ada di dalam ruangan tersebut.”
Saya bertambah bingung. “Berbahaya? Berbahaya bagaimana, Ko?”
”Air yang ada akan membuat udara menjadi lembab, sehingga jika digunakan untuk jangka waktu yang lama, akan mengakibatkan penggunanya menderita penyakit paru-paru basah. Saya tidak akan merekomendasikan ini jika pembeli tidak memiliki jendela atau pintu atau ventilasi yang terbuka.”

Saya pun terkejut mendengar penjelasan si Engko tersebut. Hati saya menjadi gentar untuk melanjutkan penawaran, karena mengingat bahaya yang dapat ditimbulkan oleh alat yang rencananya akan saya beli tersebut. Hal kedua, sedianya, Air Cooler itu akan digunakan untuk menemani tidur dari kedua orang tua saya, sehingga otomatis pada malam hari, tidak akan ada satupun jendela atau pintu yang akan dibuka.

Point yang membuat saya kagum dari kejadian ini, bahwa si Engko pemilik toko tersebut sebetulnya sadar sesadar-sadarnya, bahwa jika beliau menceritakan hal ini kepada saya, tentunya saya akan membatalkan penjualan saya, yang nota bene merupakan kerugian bagi tokonya.
Tapi beliau memikirkan suatu hal di luar kepentingannya sendiri, dan hal itu adalah kepentingan konsumennya !

Menurut saya, ini adalah suatu contoh yang baik bagaimana hubungan antar penjual dan pembeli dapat terbina dengan baik. Dan bagaimana rasa percaya dapat ditimbulkan dalam diri konsumennya.

Kali ini, si Engko mungkin kehilangan salah satu pembeli Air Coolernya akibat penjelasan yang dia berikan hari Sabtu pagi itu. Tapi bukan tak mungkin, untuk minggu-minggu atau bahkan bulan-bulan berikutnya, saya akan memutuskan untuk berbelanja segala barang elektronik yang saya inginkan, karena saya merasa percaya dan aman saat melakukan transaksi di toko tersebut. Dan saya sadar bahwa si Engko mementingkan kebutuhan konsumen di atas segalanya.

Two thumbs up, Ko !

Sebotol Sambal di Tamani Cafe

Suatu hari, beberapa tahun yang lalu, saya bersama teman saya makan di Tamani Cafe, Jl. Ir. H. Juanda, Bandung.

Saya memesan Chicken Cordon Bleu, menu favorit saya di cafe tersebut. Sambil asyik mengobrol, tangan kanan saya meraih botol sambal, membuka tutupnya, dan mulai menggoyang-goyangkannya, agar sambal yang ada dapat keluar.
Setelah digoyang agak lama, dan tak satupun tetes sambal yang muncul dari mulut botol tersebut, saya mulai berpikir bahwa botol sambal ini masih baru. Karena biasanya hal itu memang sering terjadi pada botol-botol sambal yang belum pernah digunakan sama sekali.

Tapi niat saya untuk menikmati makanan di piring saya dengan ditemani sambal, begitu kuat, maka saya mencoba menggoyangkan botol sambal tersebut sekali lagi.

Tidak sampai dua goyangan, tiba-tiba saya dihampiri oleh salah seorang pelayan.

“Bisa saya bantu, Bu ?” tanyanya ramah sambil tersenyum.
Kepala saya langsung menoleh ke arah sumber suara tersebut. Sambil membalas tersenyum, saya menyodorkan botol tersebut, “Silakan.”

Tak lama, pelayan tersebut kembali ke meja saya, dan memberikan botol sambal tersebut kembali kepada saya.
Saya mencoba menggoyangkan kembali isi dari botol tersebut, dan kali ini….. BERHASIL !

Entah apa yang dilakukan sang pelayan di dapur cafe tersebut, tapi ketanggapannya kepada para customernya yang harus diacungi jempol. Bahkan, dia hanya melihat bahasa tubuh saya yang mengisyaratkan bahwa saya perlu bantuan dalam mengeluarkan isi botol tersebut, tanpa saya perlu untuk memanggil dia dan memintanya untuk membantu saya.


Friday, April 10, 2009

Kisah Sebuah Toko Grosir

Siang tadi, saya pergi ke sebuah toko grosir alat-alat rumah tangga di daerah kota.
Tokonya lengkap... dan yang terpenting, harganya murah dibanding toko sejenis, apalagi supermarket.
Dari bahan plastik seperti barang-barang produksi Lion Star, sampai ke barang pecah belah dan alat-alat elektronik sederhana seperti hair dryer, bahkan toaster dan oven.
Kami parkir di pinggir jalan, agak jauh dari toko yang dimaksud, karena kendaraan yang parkir di sekitar situ sangat banyak.
Sampai di dalam, saya mendapati lautan manusia sedang bergerak hilir mudik kian kemari, di gang-gang dalam toko. Tentunya kebanyakan dari mereka adalah para wanita, dan terdapat pula sebagaian pria, yang mungkin sedang menemani istrinya berbelanja, seperti halnya Ayah saya menemani Ibu saya saat itu.
Suasana di dalam toko tersebut benar-benar jauh dari kata 'nyaman' yang pernah saya kenal.
Secara tangible, tidak ada satupun karyawan toko yang menggunakan seragam dan berpenampilan rapi.
Kami pun dibiarkan menunggu bermenit-menit lamanya tanpa kepastian apakah barang tersebut atau tidak dengan posisi berdiri dan kepanasan karena sirkulasi yang kurang baik di dalam toko tersebut.
Tak ada sepercik senyum pun dari bibir mereka ketika melayani kami.
Bahkan ketika saya berusaha meraih sebuah kotak plastik yang letaknya cukup jauh dari jangkauan tangan saya, tak ada satupun penerapan variabel ketanggapan dari para karyawan yang lalu lalang di dekat saya.
Ramah ? Mmm.. mungkin saya hanya akan memberi nilai 4 untuk keramahan mereka ketika melayani kami.

Tapi fenomena yang tak dapat dielakkan.. adalah dengan sederet keluh kesah yang saya lontarkan, berbanding terbalik dengan lautan manusia yang mengumpul di sana. Entah sedang melihat-lihat, sedang dilayani oleh para karyawan atau sedang mengantri di kasir yang juga tidak dapat dibilang ramah.
Dan itu semua penyebabnya adalah karena harga yang murah !
Dengan penawaran harga yang benar-benar murah itu, orang rela untuk diperlakukan 'dengan kurang baik' .. bahkan besok, lusa bahkan beberapa hari atau beberapa bulan kemudian akan tetap datang kembali dan tetap menjadi pelanggan setia toko tersebut.

Untuk kasus ini jelas terlihat, terkadang apa yang kita pelajari mengenai 'betapa pentingnya memberikan service kepada para pelanggan' dapat dipatahkan dengan mudah melalui harga yang murah.
Walaupun tidak ada satupun teori tentang kualitas pelayanan yang diterapkan oleh mereka, namun toko tersebut laris bak kacang goreng.

Namun toko seperti ini harus berhati-hati jika pada suatu hari muncul toko sejenis, di mana mereka akan bersaing masalah harga yang tidak terlalu berbeda jauh.
Jika competitornya tersebut dapat menerapkan kualitas pelayanan yang jauh lebih baik, maka mungkin saja para pelanggan akan beralih pada competitor tersebut.
Sebisa mungkin, tetap menerapkan kualitas pelayanan yang baik di samping mengutamakan kualitas produk yang kita jual, walaupun kita sedang menjadi market leader.
Karena image yang telah terbentuk di benak masyarakat akan terus melekat dan sulit untuk dihapus, bahkan ketika kita ingin mengubah image kita di mata mereka.

Thursday, April 9, 2009

Balada Mobil Rental

December 2008 yang lalu, saya memiliki kesempatan untuk ke Bali, dalam rangka seminar.
Di sana, saya bersama rekan-rekan menyewa jasa mobil rental dari seseorang bernama Pak Ali yang berperan langsung pula sebagai driver. What's so special about him ?
Beliau ini sangat mempraktekkan apa yang kita kenal dengan model SERVQUAL (Service Quality) yang diperkenalkan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry pada buku Delivering Quality Service, yaitu Tangible, Emphaty, Assurance, Responsiveness dan Reliability.


Dari segi Reliability ( Keandalan )
Pak Ali ini selalu on time dalam menjemput dan mengantar kami dari dan ke airport dan hotel. Tidak pernah ada kata 'terlambat' yang terlintas dalam benak kami untuk dilabelkan kepada pelayanan Pak Ali selama hari-hari kami di Bali.


Dari segi Responsiveness ( Daya Tanggap )
Beliau ini selalu dengan cepat merespon setiap permintaan dari kami, para pelanggannya yang cerewet (hehehehe... )

Entah meminta untuk mengganti No. Track dari CD "Pussycat Dolls" yang kami dengarkan berulang-ulang tanpa merasa bosan... ataupun sekedar membantu kami dalam mengambil gambar dengan kamera sehingga kami berlima dapat memiliki kenang-kenangan bersama dalam satu frame picture. Plus memperkenalkan kami pada satu nama pantai yang tidak pernah terlintas dalam benak kami, yaitu Pantai Jerman.
Pantai Jerman ini terletak tidak terlalu jauh dari Kuta, dan kami ke sana karena kami ingin melihat sunset yang begitu terkenal di pantai-pantai Bali. Semula, kami ingin bersantai di Pantai Kuta. Tapi dengan menghitung waktu perjalanan kami dari Denpasar, yang diperkirakan tidak akan sampai ke Pantai Kuta pada waktunya, maka Pak Ali menyarankan kami mencoba untuk melihat pantai baru yang tidak terlalu besar. Kami pun sepakat untuk menghabiskan waktu sunset kami di sana. Tapi apa daya, ketika kami tiba di sana, pantai tersebut begitu penuh dengan para wisatawan lokal yang sedang bermain olahraga pantai. Mungkin melihat raut wajah kami yang terlihat agak kecewa, karena tidak dapat menikmati 'romantis'nya suasana pantai, maka Pak Ali memutuskan untuk membawa kami ke Pantai Kuta.
Thanks to Pak Ali yang tidak lelah-lelahnya memenuhi permintaan kami dan selalu tanggap setiap waktu dan setiap kesempatan...

Dari segi Assurance ( Jaminan )
Dari segala gerak gerik Pak Ali yang kami amati, berikut sikapnya, dapat menimbulkan rasa aman dan percaya kami sebagai pelanggan ketika berinteraksi dengan beliau.

Ramah dan selalu memamerkan senyum khasnya. Sopan dalam bertutur kata dan memiliki pengetahuan yang luas all about Bali yang notabene begitu blur bagi kami orang awam. Budaya Bali, tempat-tempat terkenal di Bali dan pelosoknya serta makanan khas Bali. Bahkan ketika kami dengan cerewetnya bertanya mengenai kata-kata dalam bahasa daerah Bali, beliau dengan sabar menjawab setiap pertanyaan kami.

Satu kata Bali yang masih saya ingat hingga sekarang adalah 'jegeg' yang berarti 'cantik'

Dari segi Emphaty ( Empati )
Beliau begitu peduli akan pelanggannya dan begitu memahami kebutuhan para wisatawan yang ada di Bali. How ?

Ada satu cerita yang saya ingat yaitu ketika hari pertama kami di Bali. Kebetulan kami menginap di sebuah hotel kecil, yang lebih tepatnya disebut bungalow kecil. Satu bungalow kecil memiliki kamar 2 buah, satu kamar mandi dan ruang tamu yang terbagi antara ruang tamu kecil dan ruang makan berikut dapur kecil.

Ketika kami turun dari mobil yang dikendarai oleh beliau, dengan logat Bali yang kental beliau berkata,"Di bawah jok mobil ada DVD player, kalau ingin menonton di hotel."

Kami semua terpengarah... DVD player ???

Terutama saya, langsung felt amazed dengan pemikiran beliau yang sangat mengerti kebutuhan pelanggan. Mungkin saja, jika kami lelah setelah berputar-putar Bali, dan kami ingin menonton DVD yang dapat kami beli dengan harga murah (penjualan DVD sangat marak di Bali).
Dari sisi Tangible ( Bukti Fisik )
Ditunjukkan dari fisik Trajet berwarna silver yang kami gunakan waktu itu... bersih dan rapi

Belum lagi dengan terpasangnya CD player sehingga memudahkan para penggunanya memanjakan telinga .. Dari penampilan Pak Ali sendiri.. yang selalu rapi dan berpakaian batik dapat menampilkan seorang sosok Bali yang benar-benar Bali !

Bayangkan kalau yang menggunakan jasa beliau adalah wisatawan mancanegara, beliau dapat menjadi icon bagus untuk bangsa Indonesia

Welcome to My New Blog

Hi, I'm Christina...

I grew up in Bandung, the capital city of West Java, Indonesia.

I'm just an ordinary girl that has some experiences which I will pour on this blog through my fingers..

Hope anyone that reads my stories can feel the happiness, sadness, wonderfulness that I felt when I experienced them..

Or.. maybe you can share yours too on the comments box...

So we can enrich our knowledge...

Please do..



warmest regards,
christina